Oleh: Kanda Taufiq Solehuddin (Kabid Kajian, Aksi, dan Advokasi HMI MPO Cabang Serang)
Kita tentu tidak asing lagi dengan dua kata berikut yakni kata seks dan gender. Saking tidak asingnya lagi, di hampir semua tempat atau di mana pun itu, istilah tersebut selalu dijumpai. Bahkan secara sadar ataupun tidak, kita juga sering menggunakan dua kata tersebut di beberapa kesempatan. Namun, tahukah kita arti sebenarnya dari kata seks dan gender tersebut?
Tidak sedikit dari kita yang jika menerjemahkan kata seks dan gender pasti artinya jenis kelamin. Tidak salah sih kalau kita menerjemahkan dua kata tersebut sebagai jenis kelamin, sebab mayoritas dari kita tentu memahaminya dua kata tersebut memiliki arti yang sama dan makna yang serupa. Namun benarkah demikian? Heumm menarik untuk dibahas bersama.
Seks dan Gender, Bukan Sekedar Jenis Kelamin Biasa
Sejauh ini, banyak orang yang memahami bahwa kata gender memiliki arti yang sama dengan kata seks yakni jenis kelamin. Sebab, dua kata tersebut memiliki asal bahasa yang sama yakni sama-sama berasal dari bahas Inggris.
Kata seks (Sex dalam bahasa Inggris) yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti ‘jenis kelamin’ (tapi kalau kalian otaknya kotor, ketika dengar kata seks pasti mikirnya hal yang lain). Sedangkan untuk gender sendiri, meski berasal dari asal bahasa yang sama, belum ada terjemahan yang secara defenitif atas kata tersebut. Sehingga banyak yang menilai bahwa kata gender memiliki arti yang sama dengan kata seks.
Bahkan pernah dalam satu kesempatan ketika berdiskusi dengan salah seorang teman soal hal ini – entah dari mana dasarnya – dia menjelaskan bahwa kata gender sebenarnya kata lain dari seks untuk menjelaskan jenis kelamin secara halus. Benarkah demikian?
Mansour Fakih salah seorang penulis buku dalam bidang sosial di dalam bukunya yang berjudul ‘Analisis Gender dan Transformasi Sosial’ menjelaskan bahwa seks merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia beradasarkan biologis. Sedangkan gender yang berbeda dengan seks, gender merupakan sifat yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun secara kultural. Agar lebih mudah memahaminya, contohnya sebagai berikut.
Dalam hidup kita, secara biologis manusia terbagi menjadi dua yakni laki-laki dan perempuan. Seseorang itu dikatakan laki-laki apabila dirinya memiliki yang namanya penis (alat kelamin laki-laki) dan testis. Dan secara fungsional, memiliki yang namanya sel sperma. Sedangkan seseorang itu disebut sebagai perempuan apabila dirinya memiliki yang namanya payudara, vagina (alat kelamin perempuan), rahim, dan sel telur. Dan jika sel telur itu dibuahi maka dirinya akan mengandung atau hamil, dan jika tidak dibuahi makan dirinya akan mengalami suatu peristiwa yang disebut dengan menstruasi.
Nah, karena pembagian dua sifat atau jenisnya berdasarkan biologis maka pembagian tersebut disebut juga sebagai pembagian secara kodrati. Lah kok kodrati? Iya karena secara fungsional, dua atribusi yang melekat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara satu dengan yang lainnya. Maksudnya?
Maksudnya, karena perempuan itu memiliki yang namanya sel telur dan rahim, maka jika dibuahi dirinya akan mengandung. Dan hal itu tidak bisa dirasakan oleh laki-laki. Begitupun juga sebaliknya. Meskipun perempuan itu menjalani operasi untuk dapat memiliki penis, namun secara fungsional penis tersebut tidak akan befungsi dengan baik atau bahkan tidak berjalan sebagai mana mestinya. Jadi itu lah mengapa pembagian secara biologis disebut juga dengan pembagian secara kodrati. Lalu bagaimana dengan gender?
Jika seks berdasarkan biologis, lain halnya dengan gender. Gender berkaitan dengan penyifatan antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari kontruksi budaya dan sosial di tengah masyarakat serta pembagian peran antar keduanya. Contohnya, selama ini tentu kita selalu mendengar bahwa laki-laki itu kuat, tangguh, gagah, perkasa dan serangkaian sifat maskulin lainnya.
Sedangkan perempuan sifat yang selalu melekat padanya yakni lemah, lembut, penyayang, penyabar, emosional dan serangkaian sifat feminim lainnya. Dan jika semua itu ternyata tidak sesuai dengan apa yang sudah melekat di tengah masyarakat, maka akan dinilai aneh dan menyimpang. Karena budaya dan sosial yang dibangun seperti itu.
Padahal perlu dipahami kalau sifat-sifat yang telah disebutkan barusan itu tidaklah bersifat permanen atau kodrati, semua itu bisa dipertukarkan. Seperti sifat kuat, tidak selalu kuat itu dipersepsikan dengan laki-laki, sebab di luar sana ternyata ada banyak perempuan yang kuat dan tangguh. Begitupun juga dengan emosional, tidak selamanya harus dipersepsikan dengan perempuan, karena ada banyak rupanya laki-laki yang emosional.
Kemudian soal pembagian peran, karena pembagian peran ini seringnya berdasarkan sifat yang dipersepsikan melekat antara dua jenis kelamin tersebut. Maka, asumsi yang ada selama ini tidaklah berlaku lagi.
Jadi yang selama ini perempuan dipersepsikan baiknya berperan di ranah domestik (mengurus rumah) karena memiliki sifat penyayang, lemah-lembut, emosional, telaten dan teliti, kini sudah tidak berlaku lagi.
Sebab, semua sifat itu ternyata ada pada lelaki juga. Begitu pun sebaliknya, sehingga perempuan juga dapat turut berkontribusi, berperan dan menyampaikan aspirasinya di ranah publik secara setara.
Konklusi
Jadi, sampai disini kata seks dan gender secara sederhana dapat dipahami sebagai pembagian jenis manusia berdasarkan biologis dan peran, serta persepsi di masyarakat. Jika seks dasarnya pembagian jenis berdasarkan biologis dan dengan begitu sifatnya permanen tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan gender kaitannya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat, dan pembagian sifat serta peran tersebut bersifat tidak permanen karena merupakan hasil kontruksi sosial dan budaya masyarakat di suatu daerah.
Sumber gambar: unsplash.com/Dainis Graveris