Oleh: Kanda Akbar dan Kanda Asdar, HMI MPO Cabang Makassar
Kaget dan terharu pasca mendengar pernyataan Pejabat Ketua Umum (PKU) Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam. Firdaus yang lahir dari perseteruan HMI Cabang Makassar dengan Affandi, menyampaikan bahwa dirinya hanya sekadar ‘menyukseskan’ Kongres, dan menegaskan tidak ada maksud lain. Firdaus mengaku di depan keluarga besar HMI, bahwa tidak akan ikut berkompetisi sebagai Calon Ketua Umum PB HMI.
Pernyataan tidak ingin ikut berkompetisi sebagai Caketum PB HMI, mengundang decak kagum. Kenapa tidak, sebab kondisi HMI saat ini sangat kental dengan persaingan untuk menduduki posisi puncak HMI, dimana kader-kader HMI begitu tergiur dengan kekuasaan.
Apa yang disampaikan Firdaus selaku PKU PB HMI menjadi antitesis perilaku kader HMI yang menyenangi politik praktis serta haus kekuasaan belakangan ini.
Padahal, Firdaus jika memiliki karakter yang sama dengan oknum kader HMI lainnya, akan diuntungkan dengan posisinya. Firdaus telah mengantongi tiket ‘jalan mulus’ yang elegan untuk bertarung di Kongres. Mayoritas Pengurus Cabang akan menaruh simpati kepada Firdaus, sebab berhasil memberi bukti, bahwa mampu membuka pintu Kongres. Bila saja Firdaus haus kekuasaan, maka seharusnya dia turut bertarung pada Kongres kali ini.
Namun, pasca opening ceremony, situasi mulai berubah. Saat peserta tiba di lokasi forum Kongres, ketidakpastian Kongres kian menguak. Esok harinya, betul perkataan kawan sekamar. Kongres diselimuti ketidakjelasan.
Bendera, spanduk, serta ruangan unjuk gagasan, sama hampanya. Islamic Center Bekasi yang ditunjuk sebagai lokasi Kongres, tidak menunjukkan tanda-tanda Kongres. Kekhawatiran peserta sudah mulai terasa, saat pembagian kamar belum dibagi panitia. Akibatnya, peserta sempat terlantar dan jadi santapan nyamuk Bekasi.
Keesokan harinya, ketidakpastian forum Kongres betul-betul nyata. Tidak ada aktivitas panitia. Yang ada peserta Kongres saling bertukar tanya. Untung saja, ada nasi kotak yang tercecer di lantai 1 ruangan. Amanlah kampung tengah peserta.
Menjelang siang hari, kecurigaan mulai memuncak, bahkan sampai pada kesimpulan, Kongres akan tertunda. Ketua Cabang Yogyakarta bersama Makassar, kemudian menginisiasi rembuk bersama warga HMI.
Berkumpulah beberapa Hokage HMI, ibarat film Naruto Shippuden. Di Momen itu, penulis kagum, semuanya menurunkan ego, demi HMI tetap satu juga solid. Lahirlah sebuah keputusan, yang intinya, puluhan hokage bertabayun dan menemui pihak-pihak terkait.
Namun, jika merefleksi kembali pernyataan PKU PB HMI bahwa akan menyukseskan Kongres, faktanya adalah omong kosong belaka. Memang betul, seremonial pembukaan Kongres berlangsung meriah, tetapi Firdaus dominan menampakkan sikap ‘setengah hati’ mengerjakan Kongres.
Firdaus tiba-tiba menghilang dan menutup komunikasi. HMI Cabang Jakarta Selatan selaku tuan rumah Kongres, turut mengundurkan diri. Peserta kongres pun terlantar. Sikap hormat dan kagum kepada Cabang Jaksel dan PKU perlahan memudar.
Komitmen setengah hati penyelenggara, menambah keruh hajat HMI. Tidak ada gagasan yang bermunculan. Kini Kongres dipenuhi tarik ulur ego serta kepentingan, yang justru mengecilkan HMI secara kelembagaan dan pengaruh.
Saat tulisan ini dibuat, peserta Kongres masih sibuk bergerilya, menggalang koalisi. Peserta diperhadapkan dengan pilihan-pilihan sulit tapi bodoh. PB bukan lagi tentang Pengurus Besar, tetapi berkutak pada tiga gerbong. Nama Affandi, Zunnur, dan Firdaus memecah peserta Kongres. Tiga figur yang sejujurnya masih menawarkan masa depan yang abu-abu untuk HMI.
Bagi mereka yang memilih Affandi, adalah cabang yang menilai Affandi tidak layak di-skorsing. Sementara mereka yang mendukung Zunnur, beranggapan Sekretaris Jenderal layak melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan PB HMI. Beda yang menaruh percaya pada Firdaus, mereka mengaku ingin menyelamatkan HMI.
Meski begitu, ketiganya sama-sama dimandati HMI, namun tetap saja masih setengah hati mengurus HMI.
Kedaulatan Kader
Di Tengah carut marut Kongres, kedaulatan organisasi ada di tangan peserta Kongres yakni utusan cabang-cabang. Peserta Kongres punya kekuatan untuk mengambil keputusan mufakat. Kondisi tersebut tidak terlepas bahwa forum Kongres merupakan forum utusan cabang.
Setidaknya, kedaulatan yang saat ini melekat pada peserta Kongres dapat menyikapi beberapa hal berikut:
Pertama, semua peserta Kongres bersepakat HMI tetap ‘satu’. Peserta dengan kedaulatannya bahu membahu melawan upaya pemecah belah HMI. Tidak ada istilah dualisme, dan isme-isme lainnya. Peserta utusan tiap cabang perlu membangun komitmen, bahwa atas nama dan alasan apapun, perpecahan di HMI mesti dicegah. Agar sikap dapat dipertanggungjawabkan, tiap ketua cabang membubuhkan tanda tangannya di atas kertas. Cabang yang menolak bertandatangan, maka tidak dilibatkan pengambilan keputusan Kongres, karena bertentangan dengan komitmen sebelumnya.
Kedua, Cabang Jakarta Selatan selaku tuan rumah telah bekerja dengan baik, dan pengunduran dirinya sebagai pelaksana Kongres tetap harus dihormati. Meski begitu, idealnya selaku tuan rumah, Cabang Jaksel harusnya memberikan penjelasan mendetail terkait dengan pengunduran dirinya. Hal ini penting agar menjadi bahan pertimbangan bagi peserta Kongres. Kecuali, pengunduran diri Panitia Kongres memperoleh intervensi dari pihak yang tidak senang dengan PKU. Dengan begitu, Cabang Jaksel yang hanya melayangkan surat pernyataan sikap undur diri, itu pun dengan tiba-tiba, justru menurunkan rasa hormat cabang lain terhadap Jaksel, yang notabenenya telah bekerja maksimal. Jika sikap Cabang Jaksel terus seperti ini, sama saja Jaksel mengantarkan HMI pada hutan rimba. HMI dibawa ke tempat asing, serta menjadi incaran hewan buas. HMI layaknya Tarzan. Tumbuh tapi tak terurus.
Ketiga, sebab masalah ini bermula dari kinerja PB HMI yang buruk, maka PB HMI harus bertanggungjawab penuh. Ketika Kongres tidak berhasil menelurkan Pemimpin Baru HMI, maka seluruh Pengurus Besar HMI wajib mengundurkan diri. Sejatinya, pengunduran PB HMI akan lebih membukakan jalan bagi peserta Kongres. Peserta menjadi lebih leluasa bersikap. Kekosongan struktur PB HMI menjadi lampu hijau peserta Kongres merumuskan masa depan HMI.
Kalau Affandi selama ini menyerukan ‘revolusi’, pada momen inilah revolusi itu akan terjadi. Tapi sayang bukan pada Rezim, tetapi pada batang tubuh HMI.
Pengunduran diri seluruh Pengurus Besar HMI menjadi penanda awal mula HMI bersih-bersih dari politik praktis dan penyimpangan organisasi.
Oleh karena kedaulatan penuh berada pada peserta Kongres, sudah saatnya utusan Kongres memegang kendali. Dalam kondisi ini, PB dan pihak panitia dinilai ‘tidak mampu’ meneruskan amanah Kongres, maka utusan Kongres lah yang melanjutkan.
Para peserta Kongres dapat membentuk ‘Panitia Bersama’. Panitia Bersama membawa misi tunggal yakni melahirkan Nahkoda Baru PB HMI. Dan bukan masalah, Kongres digelar kondisi seadanya.
Dengan begitu, saya yakin, pemimpin yang lahir dari proses yang pahit, dan murni dari komitmen bersama, akan melahirkan pemimpin sesuai karakteristik Insan Ulul Albab. Yang tidak hanya, berakhlak layaknya nabi, tetapi juga mampu merawat HMI.