Oleh: Kanda Akbar Buntoro, Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Yogyakarta periode 2022-2023
Pernah tidak kita berpikir atau sepintas terbesit dalam benak kita betapa payahnya kita sebagai mahasiswa perantauan harus menjalani salah satu tradisi turun temurun di Negeri kita yaitu mudik pada saat Bulan Ramadhan di tengah kita harus melaksanakan ibadah suci puasa? Atau setidaknya pernah tidak kita merasakan “dongkol” karena berencana untuk melakukan ibadah-ibadah khusus pada Bulan Ramadhan namun terbatalkan karena beban tugas-tugas kuliah yang membebani kita?
Setidaknya itu adalah sedikit curahan hati saya ketika dulu masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta pada Tahun 2017 hingga awal-awal 2022. Yang menjadi menarik adalah ketika saya mendengar cerita dari kawan-kawan dari kampus-kampus lain yang bercerita bahwa mereka terpaksa tidak merayakan idul fitri bersama keluarganya di Kampung disebabkan karena beban akademik berupa ujian akhir semester yang akan dilakukan beberapa hari pasca-Idul Fitri itu sendiri.
Seingat saya cerita di atas terjadi pada tahun 2019 dimana terdapat Perguruan Tinggi di Yogyakarta yang hingga beberapa hari menjelang Idul Fitri belum menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan akademiknya khususnya UAS pada Bulan Ramadhan tersebut dan UAS pun dilaksanakan pasca-Idul Fitri.
Sehingga bagi beberapa kawan-kawan yang saya ceritakan tersebut memilih untuk tidak pulang daripada menghabiskan banyak dana untuk pulang ke kampung halaman lalu kembali ke Yogyakarta untuk UAS dan lalu kembali lagi ke kampung halaman.
Dalam titik ini sebenarnya saya tidak ingin menitik beratkan pada terbenturnya antara Bulan suci Ramadhan sebagai sesuatu yang mungkin sangat sakral dan kegiatan akademik yang mungkin profan. Hal tersebut hanya menghabiskan waktu kita yang karena disebabkan pasti beberapa kita juga memiliki argumentasi bahwasanya kegiatan akademik bisa bernilai sakral jika kita kaitkan dengan perintah atau anjuran agama untuk menuntut ilmu.
Titik berat saya pada hal ini adalah sebagaimana data yang dikeluarkan oleh majalah CEOWORLD pada tahun 2022 yang menyatakan bahwasanya Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara yang paling religius di kawasan Asia Tenggara dengan nilai religiusitas warganya sebesar 98.7, disamping itu dengan nilai tersebut Indonesia menempati posisi ke-7 dunia sebagai negara yang cukup religius.
Walaupun bagi saya nilai tersebut belum tentu sangat relevan jika melihat fakta di lapangan, namun jika kita lihat secara fakta antropologis, masyarakat Indonesia memang dikenal memiliki satu tingkat intensitas religius terlepas dari apapun religi/agama yang dianutnya. Oleh karena itu bagi pemeluk agama Islam dengan melihat fakta banyaknya problem seperti di atas dan dibutuhkannya satu solusi terkhusus dalam ruang lingkup akademik, saya menganjurkan untuk digunakannya kalender hijriyah sebagai acuan dalam menentukan kalender akademik.
Memang hal ini bisa dinilai sebagai tindakan atau setidaknya pikiran yang sangat intoleran mengingat kalender hijriyah sangat identik dengan agama Islam, namun bagi saya terdapat satu sisi yang membuat hal ini sangat urgent.
Pertama, mengingat banyaknya pemeluk agama Islam di Indonesia yang sebagai contoh adalah selemah-lemah imannya pasti akan merasa canggung untuk tidak berpuasa ketika Bulan Ramadhan atau banyaknya fakta di lapangan yang membuat rantai kausalitas antara beban akademik di perkuliahan dengan batalnya puasa.
Faktor yang kedua adalah hampir sama dengan faktor yang pertama, dimana mengingat terdapat perbedaan antara Bulan-Bulan Hijriyah dan Bulan-Bulan Masehi, maksudnya adalah pasti kita tahu bahwasanya sebagai contoh Bulan Ramadhan pada tahun 2023 jatuh pada pertengahan Bulan Maret sebagai pembanding kita tahu juga bahwa Bulan Ramadhan pada tahun 2022 jatuh pada awal Bulan April, hal ini yang bagi saya bisa membuat kesusahan tersendiri ketika “kekeuh” dalam mempertahankan kalender masehi sebagai acuan.
Sebenarnya lagi-lagi yang ingin saya sampaikan adalah sebagai fakta antropologis, masyarakat Indonesia sangat lekat dengan nilai-nilai atau setidaknya ritual-ritual dari agama masing-masing pemeluknya, bahkan pada beberapa sisi ritual-ritual tersebut sudah masuk dalam proses akulturasi, bahkan akulturasi pada kebudayaan nusantara. Pada titik tersebut saya menilai dengan seringnya tertabraknya proses akademik khususnya pada Bulan Ramadhan, sangat penting untuk kembali mempertimbangkan Bulan Hijriyah sebagai acuan dalam pembentukan kalender akademik.
Dengan hal tersebut, bagi saya dalam konteks perkuliahan tidak akan dimulai lagi pada Bulan September atau November, namun akan dimulai dari Bulan Dzulqa’dah dan terlambat-terlambatnya bisa diakhiri pada Bulan Sya’ban sehingga pada Bulan Ramadhan seluruh rangkaian perkuliahan sudah bisa dinyatakan libur, dan bagi saya beberapa cerita di atas tidak akan terjadi lagi.
Tentunya sebagai penutup seluruh pikiran saya ini, yang perlu digaris bawahi bagi saya dalam hal ini adalah penggunaan Bulan Hijriyah ini cuma sebatas acuan dalam menentukan kalender akademik, bahwa kemudian kalender akademik itu akan keluar dalam tanggal masehi tentunya tidak akan menjadi soal, karena substansinya adalah mengamankan salah satu bulan suci bagi umat Islam tersebut untuk bisa menjadi waktu yang sangat sakral bagi umat Islam Indonesia, untuk bisa mendekatkan kembali dirinya kepada Sang Pencipta.
Kritik dan dukungan sangat terbuka terhadap pikiran ini.
Wallahu a’lam bisshawab