Literatur

Tradisi Tombilotohe Dan Reformasi Kultural Masyarakat Gorontalo

Published

on

Oleh: Sri Nursintia Zakaria, Kader Himpunan Pelajaran Mahasiswa Utara (HPMIGU)

Hari ini, tepatnya pada bulan Ramadhan sudah memasuki malam ke 29, yang berarti menandakan bahwa bulan dengan segala bentuk keistimewaan keberkahan yang ada di dalamnya akan segera berakhir. Tentunya sebagai kaum muslim pastilah akan merasa sedih dengan berakhirnya bulan nan suci ini. Akhir dari ramadhan akan ditandai dengan perayaan hari besar, yakni hari Raya Idul Fitri pada 1 Syawal 1444 Hijriah.

 

Telah diriwayatkan bahwa menjelang sepuluh malam terakhir terdapat malam yang istimewa, yaitu malam Lailatul Qadar. Malam yang dinanti oleh orang-orang yang beriman, karena pada malam ini mereka yang beribadah secara khusyuk, akan mendapatan pahala setara beribadah seribu bulan atau selama 83 tahun. Masyarakat muslim yang berada diberbagai negara menyambut malam ini, dengan berlomba-lomba beribadah kepada Allah SWT sesuai tuntunan dan ajaran Rasulullah.

 

Penyambutan malam lailatul qadar di negara Indonesia sendiri yang dikenal dengan keberagaman dan budaya, menjadikan setiap perayaan setiap momen, dapat tersaji secara berbeda-beda. Misalkan di kota Surakarta (Jawa Tengah), masyarakat merayakannya dengan menggelar Kirab Malam Selikuran dengan menyediakan seribu tumpeng. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), warga kampung menyalakan Dila Jojor, dan juga di Semarang terdapat Wehwehan atau memberi makan anak yatim dan fakir miskin.

 

Di daerah sendiri, terdapat sebuah yang disebut Tumbilotohe atau malam pasang lampu. Tepat pada malam ini, adalah malam akhir dari tradisi tersebut. Tumbilotohe adalah suatu tradisi yang berasal dari dua kata, yaitu tumbilo artinya menyalakan dan tohe artinya lampu, jadi tumbilotohe berarti ‘menyalakan lampu’. Selain untuk menyambut malam lailatul qadar, tradisi ini juga diartikan untuk menerangi perjalanan menuju masjid, karena menjelang malam terakhir di bulan Ramadhan kondisi alam pada malam hari menjadi gelap.

 

Baca Juga:  HMI Gorontalo Hendak Konfercab, Ini Harapan Pemprov Gorontalo

Lampu yang dimaksud merupakan lampu yang terbuat dari damar atau sejenis getah, yang berasal dari tumbuhan yang ada di hutan, getah tersebut dikemas dengan daun woka. Masyarakat menyebut lampu ini dengan sebutan Tohetutu dan diletakkan pada benda yang terbuat dari susunan kayu maupun bambu yang disebut Alikusu dengan dihiasi lale (daun kelapa), bunga polohungo, bunga tabongo mela wau moidu (merah atau hijau), dan Patodu (tebu).

Seiring berkembangnya zaman, bentuk dari kedua benda ini, baik tohetutu dan alikusu mulai dikreasikan dengan berbagai bentuk. Pengganti dari tohetutu, yakni lampu padamala terbuat dari pepaya mentah dibelah dua dan kima atau sejenis kerang laut, dan diberi sumbu yang terbuat dari kapas, serta minyak kelapa.

 

Kemudian diganti lagi dengan lampu botol, yang terbuat dari botol pitas dan di isi minyak tanah yang dilengkapi sumbu dan sekadang, lampu botol tersebut didampingi oleh lampu hias. Bahkan lampu botol lebih sedikit jumlahnya dibanding lampu hias. Untuk alikusu, penggunaan lale beberapa tempat daerah Gorontalo diganti dengan tali rapiah dan penggunaan patodu sudah sangat jarang, dan lampu botol diganti dengan lampu neon.

 

Banyak yang mulai mempertanyakan. Apakah makna dari tradisi tumbilotohe berkurang? Apakah terdapat perubahan pada benda-benda yang digunakan untuk tradisi ini?

Baca Juga:  Gara-Gara Domba, Nyebrang Shirathal Mustaqim Pake Ayla

 

Salah satu masyarakat Gorontalo, Rahman Abas, yang juga merupakan seorang imam wilayah memberikan tanggapannya akan peristiwa ini. Menurutnya, dengan berbagai perubahan ini, makna dari tradisi Gorontalo ini mulai memudar. Perayaan yang lebih didominasi oleh lampu modern, merupakan tradisi diluar masyarakat lokal.

 

“Apalagi jika sudah ada yang memasang lampu dipohon-pohon, berarti tradisi kita sudah menyerupai kaum lain. Seharusnya ada perbedaan mencolok. Di alikusu ini sudah ada semacam pohon terang. Sebelumnya ada janur kuning (lale), dan sekarang telah diganti dengan tali rapiah,” tuturnya.

 

Menurutnya, tradisi masyarakat Gorontalo dalam merayakan hari-hari terakhir di bulan Ramadan ini, mulai menghilang. Kearifan lokal, mulai bergeser, karena adanya percampuran budaya dari luar Gorontalo. Padahal, jika tradisi ini bisa dipertahankan dengan baik, akan menjadi kearifan lokal, dan kekayaan kebudayaan masyarakat Gorontalo. Yang akan menjadi harta, yang tidak dimiliki daerah lain.

 

Tradisi yang diartikan sebagai suatu hal yang telah dilakukan sejak lama, disalurkan dan diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Kriteria tradisi dapat lebih dibatasi dengan mempersempit cakupannya (Shils, 1981). Sudut pandang yang berbeda, mengungkapkan makna dari sebuah tradisi, sebagai bagian dari norma adat istiadat di Gorontalo. Tetapi, tradisi bukan suatu yang tidak dapat diganti. Tradisi justru perpaduan dengan berbagai perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya (Van Reusen, 1992).

 

Berbagai pendapat merupakan perspektif para pendahulu, dalam melihat fenomena kemasyarakatan. Semua orang berhak akan hal tersebut. Namun, pemaknaan tradisi di Gorontalo, hanya bisa dijawab secara konkrit, oleh masyarakatnya sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Lagi Trending