Lampu yang dimaksud merupakan lampu yang terbuat dari damar atau sejenis getah, yang berasal dari tumbuhan yang ada di hutan, getah tersebut dikemas dengan daun woka. Masyarakat Gorontalo menyebut lampu ini dengan sebutan Tohetutu dan diletakkan pada benda yang terbuat dari susunan kayu maupun bambu yang disebut Alikusu dengan dihiasi lale (daun kelapa), bunga polohungo, bunga tabongo mela wau moidu (merah atau hijau), dan Patodu (tebu).
Seiring berkembangnya zaman, bentuk dari kedua benda ini, baik tohetutu dan alikusu mulai dikreasikan dengan berbagai bentuk. Pengganti dari tohetutu, yakni lampu padamala terbuat dari pepaya mentah dibelah dua dan kima atau sejenis kerang laut, dan diberi sumbu yang terbuat dari kapas, serta minyak kelapa.
Kemudian diganti lagi dengan lampu botol, yang terbuat dari botol pitas dan di isi minyak tanah yang dilengkapi sumbu dan sekadang, lampu botol tersebut didampingi oleh lampu hias. Bahkan lampu botol lebih sedikit jumlahnya dibanding lampu hias. Untuk alikusu, penggunaan lale beberapa tempat daerah Gorontalo diganti dengan tali rapiah dan penggunaan patodu sudah sangat jarang, dan lampu botol diganti dengan lampu neon.
Banyak yang mulai mempertanyakan. Apakah makna dari tradisi tumbilotohe berkurang? Apakah terdapat perubahan pada benda-benda yang digunakan untuk tradisi ini?
Salah satu masyarakat Gorontalo, Rahman Abas, yang juga merupakan seorang imam wilayah memberikan tanggapannya akan peristiwa ini. Menurutnya, dengan berbagai perubahan ini, makna dari tradisi Gorontalo ini mulai memudar. Perayaan tombilotohe yang lebih didominasi oleh lampu modern, merupakan tradisi diluar masyarakat lokal.