Literatur

Tradisi Tombilotohe Dan Reformasi Kultural Masyarakat Gorontalo

Published

on

 

Lampu yang dimaksud merupakan lampu yang terbuat dari damar atau sejenis getah, yang berasal dari tumbuhan yang ada di hutan, getah tersebut dikemas dengan daun woka. Masyarakat menyebut lampu ini dengan sebutan Tohetutu dan diletakkan pada benda yang terbuat dari susunan kayu maupun bambu yang disebut Alikusu dengan dihiasi lale (daun kelapa), bunga polohungo, bunga tabongo mela wau moidu (merah atau hijau), dan Patodu (tebu).

Seiring berkembangnya zaman, bentuk dari kedua benda ini, baik tohetutu dan alikusu mulai dikreasikan dengan berbagai bentuk. Pengganti dari tohetutu, yakni lampu padamala terbuat dari pepaya mentah dibelah dua dan kima atau sejenis kerang laut, dan diberi sumbu yang terbuat dari kapas, serta minyak kelapa.

Baca Juga:  Ketika Bencana menjadi Obyek Wisata (Catatan dari Lapangan)

 

Kemudian diganti lagi dengan lampu botol, yang terbuat dari botol pitas dan di isi minyak tanah yang dilengkapi sumbu dan sekadang, lampu botol tersebut didampingi oleh lampu hias. Bahkan lampu botol lebih sedikit jumlahnya dibanding lampu hias. Untuk alikusu, penggunaan lale beberapa tempat daerah diganti dengan tali rapiah dan penggunaan patodu sudah sangat jarang, dan lampu botol diganti dengan lampu neon.

 

Baca Juga:  HMI Gorontalo Hendak Konfercab, Ini Harapan Pemprov Gorontalo

Banyak yang mulai mempertanyakan. Apakah makna dari tumbilotohe berkurang? Apakah terdapat perubahan pada benda-benda yang digunakan untuk ini?

 

Salah satu masyarakat , Rahman Abas, yang juga merupakan seorang imam wilayah memberikan tanggapannya akan peristiwa ini. Menurutnya, dengan berbagai perubahan ini, makna dari ini mulai memudar. Perayaan yang lebih didominasi oleh lampu modern, merupakan tradisi diluar masyarakat lokal.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Lagi Trending