Literatur

Untuk Kamu Yang Mempersoalkan Pembatasan Jam Operasional Warteg Saat Ramadan

Published

on

Akhir-akhir ini media massa mau pun media sosial diramaikan oleh pembahasan mengenai . Bukan membahas terkait dengan capaian atau prestasi yang ditorehkan, namun membahas terkait aturan yang katanya diskriminatif dan intoleran. Bukan, bukan aturan yang melarang wanita bekerja atau menyetir mobil. Tapi aturan pembatasan jam operasional warung makan selama bulan Ramadan. Ingat, pembatasan jam operasional. Artinya ada aturan kapan rumah makan boleh beroperasi, bukan menutup total. Banyak warganet yang ramai-ramai menyebut aturan tersebut diskriminatif dan intoleran, lantaran ‘merenggut’ hak masyarakat yang tidak berpuasa untuk bisa makan. Mereka pun berpendapat bahwa kebijakan itu bisa mematikan ekonomi masyarakat, sehingga aturan tersebut dituntut agar dikaji ulang.
Baca Juga:  Cara Simpel Ini Bisa Pancing Kejujuran Seseorang
Beberapa argumentasi lain pun berserakan di media sosial, seperti argumen bahwa Satpol PP hanya berani merazia warung kecil, penyitaan peralatan dagang berlebihan, ritel-ritel juga menjual makan dan minum tapi tidak dibatasi, dan lain sebagainya. Mari kita bedah lebih dalam mengenai berbagai argumentasi tersebut. Merenggut hak untuk makan, diskriminatif dan intoleran terhadap yang tidak puasa Hasil selancar saya di media sosial, ada beberapa warganet yang menyebut bahwa tidak semua warga adalah orang yang beragama Islam. Maka aturan tersebut telah merenggut mereka untuk dapat makan di siang hari.
Baca Juga:  Sukses Gelar Webnas, KOHATI Serang Raya Siap Kembali Berjaya
Tentu saja, orang-orang non-Muslim tidak diwajibkan untuk berpuasa. Tidak ada satu pun redaksi dalam Perda Nomor 2 Tahun 2010 yang mewajibkan non-Muslim untuk ikut berpuasa di bulan Ramadan. Kalau seperti itu, jelas intoleran pakai banget.
Halaman SebelumnyaHalaman 1 dari 6 Halaman

Lagi Trending