Oleh: Kanda Diebaj Ghuroofie Dzhilillhub, Ketum HMI MPO Cabang Serang
Bagi pecinta film bertema horror, thriller, dan aksi, besar kemungkinan kalian sudah menonton film Blood Red Sky yang dipersembahkan oleh Netflix. Film bertemakan pembajakan pesawat dan teror vampire ini memang bisa memacu adrenalin dan emosi selama menonton film ini.
Film ini mengisahkan seorang ibu bernama Nadja dan anaknya (Elias) yang berasal dari Berlin. Mereka berencana pergi ke New York. Kepergian mereka ke New York bukan semata-mata untuk liburan, melainkan dalam rangka mengobati ‘penyakit‘ yang diderita oleh Nadja.
Singkat cerita, di pertengahan penerbangan, pesawat mereka ternyata dibajak oleh sekelompok orang. Beberapa di antara kelompok pembajaknya ternyata Co-pilot dan salah satu pramugara pesawat tersebut. Sisanya tonton sendiri yah, biar enggak terlalu spoiler.
Pada tulisan ini, aku justru mau menyoroti sebuah sindiran epik yang disiratkan dalam adegan dan percakapan pada film tersebut. Sindiran itu berkaitan dengan bagaimana Amerika memandang orang Arab, keturunan Arab, Islam dan terorisme.
Dalam satu adegan, para kelompok pembajak pesawat tersebut memanggil tiga orang penumpang Muslim dan yang berkebangsaan Arab. Salah satunya bernama Farid. BTW, Farid pada awal mula film pun sempat bertemu Nadja dan Elias di bandara. Farid digambarkan sebagai seorang ilmuwan.
Lanjut, para kelompok pembajak tersebut meminta ketiga orang penumpang Muslim, untuk membacakan narasi yang telah disiapkan oleh mereka. Narasi tersebut ditulis dengan dua bahasa, yakni bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Narasi yang dituliskan dengan bahasa Inggris, dapat diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut:
Kini kita mengendalikan pesawat ini. Kami tentara setia Khalifah, yang telah meninggalkan hidup ini untuk menyerang teror di hatimu, dan membakar kota London. Membunuh untuk mempermalukan kalian para kafir adalah kehormatan terbesar kami. Kami rela berkorban demi jalan kebenaran.
Pertanyaannya, apa yang mau kalian lakukan untuk melindungi kota-kota kalian yang mundur dan menyimpang? Seribu kali kalian diperingatkan, kini bayar akibat kebodohan kalian.
Sedangkan untuk narasi berbahasa Arab, diterjemahkan kurang lebih seperti ini:
Bersukacitalah komunitas Muslimin! Dalam kemartiran kita, Allah Yang Maha Kuasa mengizinkan kita untuk menyerang Eropa yang tak bertuhan.
Farid sebagai satu-satunya dari ketiga orang Muslim yang bisa berbahasa Arab, menambahkan narasi seperti ini:
Aku dipaksa membaca pesan ini. Kami tak ada kaitan dengan pembajakan pesawat ini. Bantu kami. Allahu Akbar!
Adegan tersebut secara gamblang menggambarkan bahwa Islamophobia dan sentimen Anti-Arab masih menjadi persoalan pelik di dunia, khususnya Negeri Paman Sam itu. Pun di Indonesia.
Bagaimana Islam, Arab, dan Terorisme digambarkan seolah-olah sangat melekat dan tidak bisa dipisahkan? Padahal, kelompok pembajak tersebut bukan berasal dari Arab maupun Islam. Pembajakan yang dilakukan hanya bertujuan untuk mempengaruhi pasar modal.
Sindiran tersebut berhasil dikemas secara epik, meskipun tidak menjadi isu sentral dalam film tersebut. Kendati demikian, hal tersebut menjadi konflik terakhir di dalam film, di mana Farid menjadi salah satu dari dua orang yang berhasil selamat dalam peristiwa pembajakan pesawat itu.
Penjelasan Farid sama sekali tidak didengar oleh otoritas keamanan Amerika, saat pesawat berhasil mendarat. Dari segi percakapan, terlihat jelas bahwa ketidakpercayaan otoritas keamanan Amerika itu berlandaskan pada ke-Arab-an dan ke-Muslim-an si Farid.
Semangat anti-Rasisme dan anti-Islamophobia yang disampaikan oleh penulis naskah film, perlu kita apresiasi. Atau kalau bisa, kita agendakan nonton bareng film Blood Red Sky bersama dengan para anggota BPIP yang terhormat, atau Densus 88 sekalian.
Langkah tersebut agar BPIP maupun instansi negara lainnya, menghilangkan pola pikir bahwa Islam adalah sumber dari segala masalah. Sampai-sampai harus membuat perlombaan tulisan hormat bendera dari perspektif Islam. Gak ada yang lebih menarik apa? Lomba TikTok kek.