|
Yunda Muflikhah saat menenangkan warga yang ingin mendapatkan Bantuan, padahal tidak terdampak bencana. |
Desember lalu, Gunung Anak Krakatau bersama laut Selat Sunda atas seizin Allah menciptakan gelombang Tsunami yang cukup dasyat. Menimbulkan kerugian jiwa maupun materil yang tidak sedikit. Ratusan orang meregang nyawa, ribuan mengungsi karena takut dan kehilangan tempat tinggal.
Syukur kita kepada Allah, masih banyak manusia yang tidak terlena dalam kenyamanannya, sehingga dalam waktu yang singkat, bantuan berdatangan untuk meringankan beban dari para penyintas bencana Tsunami.
Lembaga-lembaga keagamaan, ormas-ormas, organisasi Mahasiswa, komunitas motor, dan lain sebagainya bahu membahu untuk menanggulangi bencana alam tersebut. Tak peduli apakah mereka saling mengenal, tak peduli apakah mereka pendukung cebong maupun kampret. Semua bergerak, atas dasar kemanusiaan.
Namun, ditengah-tengah iklim duka tersebut, masih terdapat oknum-oknum yang menjadikan penderitaan saudaranya itu sebagai tempat “rekreasi”. Dan yang saya lihat secara obyektif, tidak sedikit yang seperti itu.
Mereka datang ke lokasi bencana, memang membawa bantuan untuk para penyintas. Namun, apa yang mereka lakukan selanjutnya, bukan seperti orang yang berbelasungkawa atas musibah yang terjadi.
Mereka berfoto ria diatas puing rumah yang berserakan, mereka bercengkrama didepan anak yang sedang melamun karena masih trauma. Bukan, saya bukan melarang untuk berfoto dan bercanda, tapi lihatlah situasi dan kondisinya.
Saya bersama teman-teman HMI (MPO) pernah mengantar salah satu lembaga pendidikan, bisa dibilang lembaga pendidikan yang cukup terkenal. Mereka meminta untuk diantarkan ke lokasi yang Sangat membutuhkan, dan ingin bantuannya tepat sasaran. Kami tak menolak, kami antar lembaga tersebut ke lokasi yang memang membutuhkan, yaitu kecamatan Sumur.
Bukan memperolok, namun nyatanya, mereka lebih banyak membawa orang daripada bantuannya. Tak tanggung-tanggung, bus pariwisata mereka bawa. Yang jika dijadikan uang, bisa mencapai 3jutaan (dari Jakarta). Tidak menjadi soal jika mereka memang berniat untuk membantu seperti Trauma Healing dsb.
Namun yang terjadi sebaliknya. Mereka justru malah ‘merepotkan’. Ada yang menangis, ada yang merengek minta pulang karena katanya terlalu jauh, dan ada yang besok punya acara lain. Seolah-olah, mereka yang butuh trauma healing.
Parahnya lagi, mereka tidak puas ketika kami antar ke posko yang memang tempatnya tidak terdampak secara fisik, MEREKA MAU TEMPAT YANG LULUH LANTAK karena terjangan Tsunami untuk dijadikan tempat foto. Hingga mereka memaksa untuk ketempat yang memang hancur, meskipun sudah dirapihkan puing-puingnya.
Ya, saya tau mereka butuh dokumentasi. Namun, tidak seperti itu juga. Toh, sampai lokasi yang terdampak hancur pun mereka hanya berselfie ria. Berburu sunset sambil berteriak “Iiih sunsetnya baguus, fotoin dong fotoin”. Padahal saat itu, Askar Kauny dan FPI sedang melakukan Trauma Healing kepada anak-anak kecil.
Memang benar apa kata media luar negeri, Penderitaan seseorang memang selalu menjadi obyek unggahan medsos yang menjanjikan.
Dan saran bagi yang masih ingin mengirimkan bantuan untuk para penyintas bencana, luruskanlah niat. Agar kalian disambut dengan Spanduk “Selamat datang para PEJUANG KEMANUSIAAN”, bukan dengan spanduk ” Selamat datang para WISATAWAN BENCANA ALAM”. InsyaaAllah.
Catatan : kader HMI (MPO) pada saat itu ditinggalkan oleh lembaga yang minta diantarkan oleh kami ke lokasi bencana. Tanpa kendaraan sama sekali. Alhamdulillah warga sudah kenal dengan kami, sehingga mendapatkan tempat untuk bermalam.